Siapa?

Di sudut itu, seorang gadis tertunduk. Tak ada yang dapat dilihat darinya selain lengan yang terlipat dibaluti garis-garis yang menghitam, beberapa darinya memudar, kaki telanjangnya dengan kuku yang membiru, dan rambut panjangnya terjuntai indah, bagi ia yang dapat melihatnya.

Gadis itu tidak sendiri. Ia memiliki penjaga di sisinya, yang tak lain adalah kesunyian.

Jika diperhatikan, tubuh mungilnya mulai bergetar seiring cipratan berwarna biru menjalar naik melalui kakinya. Jemari ringkih yang hampir tidak dapat diregangkan itu bertaut satu dengan lainnya, berusaha memanggil teman yang telah lama pergi, kehangatan. 

Entah sudah berapa lama gadis itu terduduk di sana, namun melalui angin yang berhembus, alam berkata, "sudah cukup lama. cukup bagi gadis lain seumurannya untuk mendapat gelar sarjananya."

Alam hanya menggeleng ketika sebuah pertanyaan mengudara, "apa yang terjadi?" 

Ia tersenyum pahit seiring mengingat masa ketika gadis itu pertama datang dan mendudukkan tubuhnya yang masih berseri dengan isak tangis yang tak satupun manusia dapat mendengarnya. Hanya ia yang bisa mendengarnya. Mulutnya memang terkatup dan alam memang tidak memiliki daun telinga. Tetapi hanya ia yang mendengar semua teriakan gadis itu.

"Parau." Alam kembali membuka suara.

"Apanya?"

"Teriakannya. Ia berteriak dengan suara paraunya."

"Ia mulai tenggelam," lanjut alam.

Tak ada yang mengerti perkataan alam, karena hanya sunyi yang hadir bersamanya malam itu. Detik, menit, hingga jam berputar tanpa berusaha mengerti keadaan. Keadaan dan kenyataan bahwa gadis itu butuh waktu untuk berhenti berputar. Tapi persetan dengan manusia, waktu tidak peduli. Memenangkan marathon yang diikutinya lebih penting daripada berhenti sejenak untuk menghentikan isak tangis seorang gadis, menyembuhkan sayatan pada tubuh yang kini ringkih itu.

"Siapa?" Pertanyaan itu akhirnya keluar, tak lain ditujukan kepada alam, satu-satunya yang hadir selain sunyi.

"Siapa apa?" Alam mengerutkan dahinya, tak mengerti dengan satu kata yang berakhir dengan tanda tanya itu.

"Siapa yang tega berbuat demikian?"

Alam mengerjab dan mengalihkan pandangannya kepada gadis di sudut itu, "membuatnya seperti itu, maksudmu?" 

Anggukan menjawab pertanyaan itu, sedang alam kembali tersenyum pahit sebagai jawabnya. 

"Berhenti melempar senyum itu dan jawab pertanyaanku."

Alam terkekeh, kemudian membawa kakinya melangkah menuju gadis itu. Tangannya perlahan mengelus lembut rambut indah milik gadis rapuh itu, "saat ia pertama datang ke sini, banyak."

"Banyak makhluk, benda, bahkan angan yang semu itu," lanjutnya.

Alam menarik tangannya dari kepala gadis itu, merendahkan diri hingga tubuhnya sejajar dengannya, kemudian ia memeluknya lembut. Butuh waktu lebih dari yang dibutuhkan seekor semut untuk membawa butiran gula ke dalam rumahnya, untuk alam dapat melepas peluk hangat itu dan kembali membiarkan gadis itu terduduk dalam dunia gelap yang menjadi rumahnya saat ini. 

"Namun, selama ia di sini, sepanjang waktu yang ia habiskan berdiam di sudut itu, hanya ada satu penyebab yang tinggal." Alam kembali membuka suara, melanjutkan penjelasannya.

"Satu penyebab yang tinggal, membuatnya tetap terduduk di sudut itu adalah?"


"Dia. Dirinya sendiri."


Tiga kata itu menjadi kata terakhir yang terucap dari alam, sebelum meninggalkan sang gadis kembali berdua dengan penjaganya, kesunyian.



-sei. 03.06.22.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenggelam Dalam Pikiran.

Tembok yang kubangun sendiri.

Aku berharga?