Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

New Lessons

I learned couple new values these day. These are the values that I got. A story time, basically. If you don't mind to read it, please read. I hope you'll get some learning from it! The first thing is; it's so calming to accept everything that happened in your life, while ofc you keep trying to do the best thing to be happened.  It was all started when my assignment file suddenly damaged at 11 pm, when I've planned the whole weekend for doing things that I love. I know there must be a solving through it but the first thing I did,.. guess what? cried. of course haha. and I chose to start it all over again cos I had no clear mind to look for something that could recovered my file. which means, I accepted it. it was sooo hard, ofc. to accept the work you've been dealing with the whole day to be gone within second. but there's no way you could bring it back with your madness. so, why should I bother with that? the second thing happened, I broke my phone, aga

Yaudahlah.

Santai-lah namanya hidup. Kadang, pengen banget ngomong suatu hal tanpa disaring. Kaya, supaya keluar gitu, panasnya. Panas emosi. Kadang, sudah dirasa tepat, tapi masih juga salah. Kadang, pengen ngutarain sesuatu, harus ditelan lagi demi kebaikan. Dari sisi manapun itu. Kadang, pengen banget bisa tidur nyenyak tanpa harus mikir ini itu, tanggung jawab yang harus diselesaikan segera. Pengen deh, bisa bahagia semudah mengedipkan mata. Sesimpel menghidup oksigen. Pengen deh, tertidur pulas seperti bayi yang sudah kenyang. Capek gitu. Seakan hidup hanya untuk dibanting. Tapi, yaudahlah. Bisa apa kita selain menjalankannya? Berhenti? Hanya pengecut yang melakukannya. Kadang, beberapa hal memang harus di-yaudahin, hanya tuk mempermudah nafas. Terlalu memikirkan suatu hal yang tidak seharusnya membuat otak berpikir keras selalu menjadi dalangnya. Kadang, pengen gitu menampar si otak. Biar sadar. Yang dia lakukan tak lain dari melukai hatinya sendiri.

Istirahat dulu.

Mungkin, sebagian dari kita sudah melewati hari dengan tangguhnya.  Entah itu dengan riang, santai, marah, bingung, tangis, hingga.. Tak berekspresi. Berlari ke sana-kemari, hingga terseok pada akhirnya, hanya tuk mendapat sebuah jawab. Sebuah uluran tangan. Sebuah telinga yang ikhlas mendengar. Sebuah pundak tuk bersandar. Hingga sebuah bantal tuk meredam tangis. Orang-orang berlalu lalang seolah tak melihat hadirmu di sana. Tertawa riang bersama teman. Senyum merekah hadir menutupi duka. Lelah, letih, katamu. Tolong aku, teriakmu. Dunia diam tak bergeming. Seolah teriakmu bagai teriak semut di tengah laut. Tak ada yang dengar. Tanggung jawab yang kau pikul, kini tergeletak di hadapanmu. Kau menatapnya kosong, entah harus dengan cara seperti apa lagi kau memikulnya. Rasanya, seperti segala cara sudah dikerahkan untuk itu, tapi tak juga cukup. Kau membaringkan tubuhmu tepat di sebelah mereka. Memejam mata, berusaha itu dapat menenggelamkan sem

Kalau capek itu..

Kalau sudah capek, bawaannya; Ah apaan sih gak kelar-kelar? Gak usah bikin emosi deh. Kenapa sih semua pada nyebelin. Kapan bisa istirahat kalau gini caranya? Pengen marah aja rasanya. Pengen ngacangin semua orang aja gitu. atau.. tiba tiba nangis atau, tiba-tiba semua orang menjadi salah, atau bahkan, tiba-tiba merasa menjadi yang paling salah. hingga keluar kalimat; kenapa harus aku terus sih? Kenapa aku gak bisa hidup tenang, sebentar aja. Kenapa harus aku di antara jutaan manusia? Ini gak adil. Banyak orang setidaknya pernah merasakan satu di antara hal tadi. Beberapa orang mengakuinya, beberapa pura-pura dan bersembunyi. Tidak penting sebenarnya.. Tapi di sini ada dua jalan, meluapkannya dan mungkin dapat merusak segalanya, atau melupakannya dan ikhlas, lalu melanjutkan hidup. Kamu, jalan yang mana? Gak apa, gak akan ada yang menghakimimu atas jalan apa yang kamu ambil. Hanya saja kita perlu memastikan diri kita masing-masing bahwa

Damai? Sambat dulu kali.

Sudah mencoba yang terbaik, masih juga salah. Sudah mencoba tidak menyinggung, masih juga marah. Sudah mencoba damai, masih juga ditolak. Dikomentari, dimarahi, bahkan, dituduh yang nggak-nggak. Pergi menjauh dari lingkungan, tiba-tiba saja, ditodong pisau, lalu dicopet. Seolah bernafas saja salah. Perjuangan ibu melahirkan jadi terkesan sia-sia sekarang. Mungkin, semua terasa jahat sekarang. Seolah, bumi berputar hanya untuk membuatmu jatuh, lagi dan lagi. Omongan orang kini terdengar lebih seperti cacian. Pujian orang hadir bak demi panjat sosial. Susah ya, hidup. Ups . Bukan susah hidup, melainkan, susah bertahan kalau kamu terus berada di posisi itu. Di sudut pandang itu. Mungkin terdengar klise, tapi, cobalah untuk beranjak ke sudut lain. Coba tuk lihat suatu hal dari tempat lain, selain dari tempatmu. Percaya tidak, kalau orang lain juga mungkin saja merasa keraguan, kegelisahan, kesedihan yang sama sepertimu, atau bahkan jauh lebih buruk kondisinya. Kembali lagi

Bahagia itu..

Gambar
Bahagia itu,... Sebentar.. Menurut kamu, bahagia itu seperti apa? ... Haha, oke, menurut aku, bahagia itu.. Simple, tidak ada syaratnya. Bahagia itu, tidak ada takarannya. Bak buah tomat kecil yang beragam ukuran, pun warnanya. mulai dari warna merah legam, oranye, menguning, juga hijau. Sekecil kelereng, hingga sebesar genggaman. Meski beragam, tak satupun dari kita dapat memastikan mana yang manis, pun kecut. tak satupun cita rasa itu, tergambar dari tampilannya.  Setiap orang memiliki seleranya masing masing. Ada yang lebih menyukai si kecil tomat hijau, pun tomat merah raksasa. Ada yang lebih memilih kecut, ada pula yang memilih manis. tidak ada yang salah, tidak ada yang benar, semua hanya soal selera. Sebagai makhluk paling sempurna, manusia tidak berhak menghakimi atas apapun, termasuk juga kebahagiaan seseorang. Tak satupun dari kita berhak memilihkan bahkan memaksa tomat apa yang harus orang lain cicipi. Mereka boleh memilihnya sendiri. Dari situ kita belajar, bahwa hidup

Percaya pada siapa?

Gambar
Satu saat engkau mendudukkan ragamu di tepi kasur, menatap kosong keluar jendela. Angin berhembus meniup gorden kamarmu hingga ia melayang setinggi ragamu. Debu-debu yang hinggap pada barangmu, kini kau abaikan. Alergi akan debu tak membuyarkan lamunanmu. Pikiranmu terpusat pada setiap kata yang berulang kali terlintas; Gelisah, Takut, Gundah, ingin bergerak, ingin melangkah, tapi apa daya kedua kaki terikat kencang oleh ikatan yang kau buat sendiri. Engkau terus menatap kosong semesta yang sibuk berlalu lalang di luar sana. Ada raga yang berlari dengan beragam medali terkalung di lehernya, ada raga yang berjalan santai dengan berbagai barang dibawa oleh tangannya, disertai senyum lembut para pencari sumber kehidupan di tepi jalan itu.  Kau masih di sana, terduduk di sudut kasur kamarmu. Tak satupun hal yang ditampilkan semesta mampu menyadarkanmu dari derasnya arus pikiranmu. Banyak orang hadir dengan berbagai cerita yang membahagiakan, bagi mereka. Tanpa mereka sadari, ceri

a story..

Gambar
"where were you when I needed you the most?" she said as she laid down her self beside her universe. he turned his head, gave her a glance as he put his gaze back to the view before them, "I was there. behind you." "you were there right behind me?? did nothing while I was dying?" she almost shouted. she gave him a wrath gaze, but he kept paying attention to the twilight sky. "hey. look at me!" he didn't move even for a single sight. "I said, look at me!" she shouted. eventually. and he looked toward her, avoiding her eyes. "look at me, in the eyes." it took him couple seconds until she finally caught his eyes. "where were you?" she said gently. "I was there.."  he seemed to hold up his tears, as he turned away. "hey," she touched his cheek gently. until he could calm himself with that soft touch. "I wanted to help. I really was and am," he stopped cause