Percaya pada siapa?
Satu saat engkau mendudukkan ragamu di tepi kasur, menatap kosong keluar jendela. Angin berhembus meniup gorden kamarmu hingga ia melayang setinggi ragamu. Debu-debu yang hinggap pada barangmu, kini kau abaikan. Alergi akan debu tak membuyarkan lamunanmu. Pikiranmu terpusat pada setiap kata yang berulang kali terlintas;
Gelisah,
Takut,
Gundah,
ingin bergerak, ingin melangkah, tapi apa daya kedua kaki terikat kencang oleh ikatan yang kau buat sendiri. Engkau terus menatap kosong semesta yang sibuk berlalu lalang di luar sana. Ada raga yang berlari dengan beragam medali terkalung di lehernya, ada raga yang berjalan santai dengan berbagai barang dibawa oleh tangannya, disertai senyum lembut para pencari sumber kehidupan di tepi jalan itu.
Kau masih di sana, terduduk di sudut kasur kamarmu. Tak satupun hal yang ditampilkan semesta mampu menyadarkanmu dari derasnya arus pikiranmu. Banyak orang hadir dengan berbagai cerita yang membahagiakan, bagi mereka. Tanpa mereka sadari, cerita itu menyayatmu, perlahan tapi pasti. Engkau tidak iri, engkau tidak menyalahkan mereka atas pencapaiannya, engkau turut senang, seharusnya. Tapi, kau tak bisa terlihat seantusias itu, karena perang di pikiranmu tak kunjung reda. Sebagai balasannya, kau hanya bisa tersenyum. Entah itu tulus atau tidak. Tapi kau selalu berharap mereka mengerti kalau kau tulus.
Tak ada yang menyalahkanmu, tak satupun manusia, bahkan manusia terdekatmu. Mereka semua mendukungmu, tapi tetap saja ada raga yang lebih kau dengar ketimbang raga-raga yang mendukungmu itu. Ragamu sendiri. Ragamu, yang tidak sepenuhnya percaya pada dirinya sendiri.
Haha. Lucu ya?
Raga di sekitarmu, yang terkadang kau anggap mereka yang terbaik, terkadang, tidak menyadarinya. Tak berhak kau salahkan mereka, karena kalau diam saja, siapa yang akan mengerti? Selain raga yang bersangkutan, dirimu sendiri.
Terkadang kau terbawa pada masa ketika kau bahagia, seolah kau insan paling bahagia di bumi ini.
Terkadang kau terbawa pada masa ketika kau bersedih, seolah kau insan paling hancur di bumi ini.
Terkadang juga, kau terjebak pada masa kau bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi, dan yang kau lakukan hanyalah menatap kosong jendela kamarmu, seperti yang kau lakukan saat ini.
Satu per satu raga melewati jendelamu, tanpa ada yang sadar, kau duduk di sana, mengharap jawaban.
Matahari mulai memadamkan cahayanya. Langit oranye senja diam-diam mengintip dari celah jendelamu. Pada saat yang bersamaan, kau melihat sosok raga berjalan perlahan menggendong ranselnya tegap mulai melintas muka jendelamu. Namun, ia berhenti sejenak, suatu kejadian tak terduga terjadi.
Raga itu menoleh ke arah jendelamu, seolah ia bisa memperhatikanmu. Raga manis, berdiri tegap, dengan wajahnya yang penuh harapan serta binar matanya yang penuh mimpi. Detik setelahnya, kau tersadar dari lamunanmu. Raga itu masih di sana, menatapmu dalam. Detik setelahnya, kau berkedip. Mendapati ia tersenyum ke arahmu, kemudian mengangguk. Detik setelah kau berkedip untuk kedua kalinya, ia sudah kembali menghadap arah tujuannya, tuk melanjutkan perjalanannya.
Detik selanjutnya ia hilang.
Kau tidak takut karenanya, namun kau heran. Setelah duduk seharian di sana, menatap kosong kesibukan semesta, akhirnya ada yang menyadari keberadaanmu. Bahkan memberi sinyal untukmu. Kau tersentuh karenanya. Kau kembali membayangkan postur tubuhnya yang sangat bersemangat itu. Setelah mengingat kembali, baru kau sadari, ia sangat mirip dengan dirimu. Hanya dengan sentuhan harapan penuh di setiap langkahnya. Kau menatap cermin di sampingmu. Ya. Benar. Sangat mirip.
Bagaimana bisa?
Kemudian kau bergegas meraih ranselmu dan menggendongnya. Kembali menghadap cermin, mirip sekali, katamu. Setelahnya, kau coba tuk tersenyum, seperti yang dilakukannya, dan mengangguk. Detik selanjutnya kau sadar. Lalu kau mengutuk dirimu. Air mata itu tumpah pada akhirnya.
Jawaban yang selama ini kau cari ada pada dirimu sendiri. Semesta memberi kilasan balik akan dirimu yang begitu bersemangat pada tempo hari, untuk kembali membangunkan ragamu yang sekarang. Semesta mengingatkanmu, yang kamu butuhkan bukan orang lain, melainkan dirimu.
Kini, kau mencoba menegapkan badanmu, dan, BOOM! Tebak hasilnya?
Kau persis seperti sosok di luar tadi. Detik ketika kau mulai memercayai dirimu, maka saat itu juga semesta mengerahkan kekuatannya untuk menyokongmu bangkit.
Lawan semua pikiran yang ada dalam benakmu, pikiran negatif itu, jangan kau biarkan masuk dan menguasai dirimu. Raga-raga yang kurang baik untukmu, jauhi saja. Jauhi bukan hempaskan.
Lawan semua hal yang sekiranya dapat menjatuhkanmu,
Lawan apa-apa yang membuatmu mengorbankan keyakinan akan dirimu.
Buktikan pada semesta, kalau kau bisa. Bisa menghadapinya sendiri, dengan mudahnya, tanpa bantuannya.
Buktikan pada dirimu, bahwa kemanapun kau pergi, kau bisa jaga ragamu. Kau bisa menjadi penyelamat untuk dirimu sendiri.
Katakan; Berbahagialah diriku. Aku mempercayaimu. Aku berjuang untukmu.
-sei. 3.4.20.
this pic was taken by my friend, shrnzk. at brown canyon, Semarang.
Gelisah,
Takut,
Gundah,
ingin bergerak, ingin melangkah, tapi apa daya kedua kaki terikat kencang oleh ikatan yang kau buat sendiri. Engkau terus menatap kosong semesta yang sibuk berlalu lalang di luar sana. Ada raga yang berlari dengan beragam medali terkalung di lehernya, ada raga yang berjalan santai dengan berbagai barang dibawa oleh tangannya, disertai senyum lembut para pencari sumber kehidupan di tepi jalan itu.
Kau masih di sana, terduduk di sudut kasur kamarmu. Tak satupun hal yang ditampilkan semesta mampu menyadarkanmu dari derasnya arus pikiranmu. Banyak orang hadir dengan berbagai cerita yang membahagiakan, bagi mereka. Tanpa mereka sadari, cerita itu menyayatmu, perlahan tapi pasti. Engkau tidak iri, engkau tidak menyalahkan mereka atas pencapaiannya, engkau turut senang, seharusnya. Tapi, kau tak bisa terlihat seantusias itu, karena perang di pikiranmu tak kunjung reda. Sebagai balasannya, kau hanya bisa tersenyum. Entah itu tulus atau tidak. Tapi kau selalu berharap mereka mengerti kalau kau tulus.
Tak ada yang menyalahkanmu, tak satupun manusia, bahkan manusia terdekatmu. Mereka semua mendukungmu, tapi tetap saja ada raga yang lebih kau dengar ketimbang raga-raga yang mendukungmu itu. Ragamu sendiri. Ragamu, yang tidak sepenuhnya percaya pada dirinya sendiri.
Haha. Lucu ya?
Raga di sekitarmu, yang terkadang kau anggap mereka yang terbaik, terkadang, tidak menyadarinya. Tak berhak kau salahkan mereka, karena kalau diam saja, siapa yang akan mengerti? Selain raga yang bersangkutan, dirimu sendiri.
Terkadang kau terbawa pada masa ketika kau bahagia, seolah kau insan paling bahagia di bumi ini.
Terkadang kau terbawa pada masa ketika kau bersedih, seolah kau insan paling hancur di bumi ini.
Terkadang juga, kau terjebak pada masa kau bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi, dan yang kau lakukan hanyalah menatap kosong jendela kamarmu, seperti yang kau lakukan saat ini.
Satu per satu raga melewati jendelamu, tanpa ada yang sadar, kau duduk di sana, mengharap jawaban.
Matahari mulai memadamkan cahayanya. Langit oranye senja diam-diam mengintip dari celah jendelamu. Pada saat yang bersamaan, kau melihat sosok raga berjalan perlahan menggendong ranselnya tegap mulai melintas muka jendelamu. Namun, ia berhenti sejenak, suatu kejadian tak terduga terjadi.
Raga itu menoleh ke arah jendelamu, seolah ia bisa memperhatikanmu. Raga manis, berdiri tegap, dengan wajahnya yang penuh harapan serta binar matanya yang penuh mimpi. Detik setelahnya, kau tersadar dari lamunanmu. Raga itu masih di sana, menatapmu dalam. Detik setelahnya, kau berkedip. Mendapati ia tersenyum ke arahmu, kemudian mengangguk. Detik setelah kau berkedip untuk kedua kalinya, ia sudah kembali menghadap arah tujuannya, tuk melanjutkan perjalanannya.
Detik selanjutnya ia hilang.
Kau tidak takut karenanya, namun kau heran. Setelah duduk seharian di sana, menatap kosong kesibukan semesta, akhirnya ada yang menyadari keberadaanmu. Bahkan memberi sinyal untukmu. Kau tersentuh karenanya. Kau kembali membayangkan postur tubuhnya yang sangat bersemangat itu. Setelah mengingat kembali, baru kau sadari, ia sangat mirip dengan dirimu. Hanya dengan sentuhan harapan penuh di setiap langkahnya. Kau menatap cermin di sampingmu. Ya. Benar. Sangat mirip.
Bagaimana bisa?
Kemudian kau bergegas meraih ranselmu dan menggendongnya. Kembali menghadap cermin, mirip sekali, katamu. Setelahnya, kau coba tuk tersenyum, seperti yang dilakukannya, dan mengangguk. Detik selanjutnya kau sadar. Lalu kau mengutuk dirimu. Air mata itu tumpah pada akhirnya.
Jawaban yang selama ini kau cari ada pada dirimu sendiri. Semesta memberi kilasan balik akan dirimu yang begitu bersemangat pada tempo hari, untuk kembali membangunkan ragamu yang sekarang. Semesta mengingatkanmu, yang kamu butuhkan bukan orang lain, melainkan dirimu.
Kini, kau mencoba menegapkan badanmu, dan, BOOM! Tebak hasilnya?
Kau persis seperti sosok di luar tadi. Detik ketika kau mulai memercayai dirimu, maka saat itu juga semesta mengerahkan kekuatannya untuk menyokongmu bangkit.
Lawan semua pikiran yang ada dalam benakmu, pikiran negatif itu, jangan kau biarkan masuk dan menguasai dirimu. Raga-raga yang kurang baik untukmu, jauhi saja. Jauhi bukan hempaskan.
Lawan semua hal yang sekiranya dapat menjatuhkanmu,
Lawan apa-apa yang membuatmu mengorbankan keyakinan akan dirimu.
Buktikan pada semesta, kalau kau bisa. Bisa menghadapinya sendiri, dengan mudahnya, tanpa bantuannya.
Buktikan pada dirimu, bahwa kemanapun kau pergi, kau bisa jaga ragamu. Kau bisa menjadi penyelamat untuk dirimu sendiri.
Katakan; Berbahagialah diriku. Aku mempercayaimu. Aku berjuang untukmu.
-sei. 3.4.20.
this pic was taken by my friend, shrnzk. at brown canyon, Semarang.
Komentar