Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

memahami diri sendiri.

diri sendiri merupakan sosok yang paling dekat dengan kita. iya, dong. memangnya, siapa lagi yang bisa nempel jadi satu raga kalau bukan, ya kita sendiri? kalau deket, lalu apa? hmm biasanya, jadi tau segalanya. tau kalau lagi senang, tau kalau lagi sedih, tau kalau lagi marah, tau kalau lagi capek, tau kalau lagi butuh bantuan. ya, harusnya begitu. tapi kadang, ngga sesimple itu. untuk tau apakah kita bahagia saja, terkadang butuh sosok lain untuk menilainya. untuk tau kalau kita sedih, kadang harus ada yang menghapus air mata yang ada, baru mengerti. bahkan, saat air mata tumpah, kadang manusia tidak tau pasti apa yang sebenarnya terjadi padanya. iya tidak? beberapa sosok bukan tidak benar-benar mengerti, tapi mereka hanya menolak untuk mengerti. seperti, hanya ingin orang lain yang membantunya dalam hidup, padahal tidak semua hal harus bergantung orang lain, iya nggak? banyak manusia yang masih harus belajar lebih jauh terkait hal terdekat dalam hidupnya, yakni dirinya sendiri. mema

Hi!

 Hi, greetings! it's been a while, well I don't really have much words so, here's the link. please if you don't mind, kindly drop anything on it, I need to boost myself and have some idea to help me healing soo, yeah. thank you for your kindness♡ https://secreto.site/id/16026569

Enyah kau, wahai diriku.

Malam itu, Ah selalu malam. Entah mengapa suasana gelap bisa mempengaruhi emosi, yang tadinya biasa saja, bisa meledak dalam hitungan detik. Yang tadinya ingin mengubur saja, bisa justru meneriakkannya dengan sekuat tenaga.  Angin itu, berdesis di telinga. Alunan melodi lembut dari lagu yang dimainkan tidak berhasil menutup desisannya. Menggelitik manis, katanya. Lagi lagi, satu-satunya teman malam itu.  Entah dari mana asalnya, tiba-tiba bulir air membasahi pipi indah itu. Padahal, tidak ada hujan malam itu. Haha. klise. Tapi fakta. Lucu, ya? Dari yang tadinya nggak bisa berhenti ngomong, jadi lebih nyaman bungkam karena kenyataan. Dari yang tadinya gemar mempertanyakan hal kecil hingga besar, penting hingga tidak sama sekali, jadi lebih nyaman mengunci otaknya dari rasa ingin tau. Kenyataan bahwa menelan semua sendiri jauh lebih baik daripada mengeluarkannya. Haha. Lucu, banget! Rasanya, jadi benci segala hal. Bukan karena mereka salah. Tapi, ya, benci aja gitu. Kaya, kenapa, sih? Ke

Ekspektasi ft. Realita

Ekspektasi lebih besar dari realita. Dan ketika itu terjadi, tak ada yang dirasakan lagi selain kekecewaan. Sering ngerasa gitu nggak? Kaya, saat-saat merebahkan tubuh di atas kasur, ketika bulan mulai mengucap selamat malam, otak mulai berpikir, hari ini ternyata tidak seperti yang ku bayangkan. Semua yang normal itu mendadak menjadi tidak normal ketika kita mengingat akan ekspektasi yang sudah kita tanam sebelumnya. Sering merasa begitu? Lalu otak berusaha menenangkan hati dengan berkata, nggak papa, besok dicoba lagi, semoga lebih baik lagi. Nah, kalau begini, hati suka bingung, ini berdoa atau berharap lagi, ya? Bukannya apa, tapi cuma nggak mau jatuh lagi aja. Soalnya memar kemarin aja belum sempat terobati. Kadang, yang lebih sering menjatuhkan diri sendiri itu justri harapan serta ekspektasi yang dipelihara. Boleh saja sih memupuk harap, namun jangan lupa juga tuk memupuk realita. Seperti, berusaha untuk keduanya. Berharap dan berangan iya, namun realita juga tetap di bangun. Ja

merasa bersalah atas kreativitas

Pernah nggak sih mikir ngerasa nggak berguna? Bukan karena nggak bisa ngelakuin apa-apa, tapi karena yang bisa dilakuin itu cenderung sesuatu yang berbeda dari yang dilakuin kebanyakan orang? Misalnya, hari libur sering dihabiskan untuk menulis cerita baru, membuat karakter atau animasi baru, melakukan editing, meng- cover lagu orang, atau bahkan mengaransemen lagu. Hal-hal yang jarang banget orang-orang lakuin. Merajut? Membuat journal? Atau bahkan menulis sajak yang bahkan sedikit populasi manusia yang paham apa yang kamu bicarakan. Kalau pernah, ayo sini join kubunya. Hehe. Kadang ngerasa aneh aja gitu, ketika orang lain berlomba meraih nilai tertinggi, peringkat terbaik, yang di sini malah guling-gulin sambil mikirin kunci-kunci yang cocok untuk lagu yang baru saja di tulis. Ketika orang lain berebut sertifikat dan medali, yang di sini malah duduk manis berteman tiupan angin malam hanya untuk menemukan larik-larik sajak yang merepresentasi perasaan saat itu. Ketika orang lain sudah

belajar bodo amat.

Dalam dunia ini, kita mengenal beberapa kata yang baik remaja pun sosok dewasa sering dengar. Di antaranya; opini, apresiasi, kritik, komentar, sambat, dan resah. Ya, seputar itu pokoknya. Kata-kata itu jarang terucap, tapi sering diwakili dengan berentet kalimat lain. Atau bisa dibilang, omongan orang. Nyambung nggak? Kayaknya nggak, hehe. Ok, sebagai sosok remaja, kita sering bertemu yang namanya, omongan orang. Baik itu dalam bentuk opini membangun seperti apresiasi, atau bahkan kritik pedas yang menjatuhkan. Bertolak belakang memang, tapi tujuannya tidak bertolak belakang, sebenarnya. Kalau kita bisa lihat dari perspektif yang tepat. Opini membangun, atau biasa disebut apresiasi, keluar dari mulut-mulut mereka yang manis dengan tujuan membangun, menghargai, juga menghormati. Yang seperti ini biasanya menenangkan. Tapi, tak banyak manusia yang melakukannya, ya tidak? Atau, hanya soal pengaruh lingkungan. Yang kedua, kritik pedas. Yang satu ini sedikit menyeramkan, bak a

Manusia tidak pernah puas ?

Manusia tidak pernah puas. Sering dengar? Atau bahkan sering berkata itu? Terkadang, hidup bisa sebercanda itu. Untuk bisa meraih tahap tertentu, tentunya manusia perlu mati-matian berjuang bahkan hingga titik darah penghabisan. Namun, semesta rupanya gemar bercanda. Pada satu posisi bisa dilihat sosok-sosok pejuang tangguh yang dengan segenap raganya, berlari dan memanjat. Di sisi lainnya, bisa dilihat sosok dengan kelebihan yang dianugerahi padanya dengan mudahnya meraih titik dan tujuan yang sama. Kadang, kesannya tidak adil, ya? Kemudian banyak manusia meneriakkan; tegakkan keadilan! Ada saat ketika tiap raga pada semesta ini berlomba-lomba untuk meraih titik terbaik dalam hidupnya. Berlomba menyaingi dan mengalahkan sosok di sebelahnya. Segala cara dilakukan, bahkan cara curang sekalipun. Itu sih, menjadi tanggung jawab setiap pribadi. Tapi, di mana keadilan? Manusia sering berkata, aku ingin meraih titik itu. Aku akan berjuang untuknya. Pagi hingga larut mala

dunia gemar menuntut.

Pasti pada pernah mendengar kata-kata ini;  "Belajar yang rajin dong, biar sukses." "Coba rajin olahraga dan minum susu biar tinggi." "Berhenti ngemil, deh. Mau bentuk kamu jadi 11 12 sama gajah?" "Bangun siang terus, udah ketinggalan banyak langkah dari orang lain." "Main game aja terus, mau jadi apa kamu saat besar?" "Kerja males-malesan terus, Saya potong gaji kamu lama-lama." "Nyinyir mulu kerjaannya." "Gak usah lah jadi designer, keren juga dokter." Dan rentetan kalimat lainnya. Dari siapa biasa kamu denger? Temen? Orang asing yang bahkan kamu belum pernah ketemu? Saudara? Atau bahkan orang tua? Kalau habis denger itu gimana? Emosi? Jelas. Marah? Panas? Nangis? Teriak? Beda-beda dalam setiap orang mengungkapkan emosi dan perasaannya. Ok, itu nggak penting. Tapi pernah kah ada yang bertanya-tanya, kenapa sih dunia jahat banget? Perasaan aku gak salah

Tentang dewasa.

Dewasa itu.. Simple, bahagia, bebas. Katanya sih gitu, padahal sih jauh dari itu, menurutku. Bagi ragaa yang belum genap 19 tahun ini, dewasa adalah suatu tahap paling mengerikan yang pernah terbayang dalam otaknya. Bagaimana tidak? Pembebanan tanggung jawab di mana-mana, suatu perbuatan menjadi memiliki banyak arti, banyak perspektif. Membayangkannya membuat bulu kudukku melambai-lambai, seakan memberi isyarat untuk menyerah. Cepat atau lambat, lepas dari orang tua akan terjadi pada akhirnya. Persoalan dunia itu luas dan kejam akan benar-benar dihadapi sendiri. Bukannya payah atau mencoba menjadi pengecut, tapi pernahkah berpikir, bagaimana jika jalan yang ku pilih pada akhirnya membawa malapetaka? Bagaimana jika aku tidak cukup baik untuk manusia lain? Bagaimana jika aku bahkan tidak bisa menghidupi diriku sendiri? Bagaimana jika aku tidak akan pernah berjumpa lagi dengan yang namanya "kebahagiaan"? Yah, ketakutan seperti itu pasti ada. Jika tid

a letter for you.

teruntuk; orang yang pernah baik ke aku, yang selalu baik ke aku. makasih ya, aku gak tau kenapa, tapi hati aku selalu meleleh setiap ada orang baik ke aku. apalagi yang terlihat banget tulusnya. aku gak tau juga kenapa, setiap ada orang baik datang, aku selalu merasa hina. kaya, ngga pantas gitu loh. selalu ada orang baik di sekitar aku. yang mana aku selalu haru tiap itu terjadi. terimakasih kalian, jajaran orang baik, yang menjadi salah satu guru aku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. maaf ya, kalau balasan atas semua itu ke kalian nggak sebaik apa yang kalian beri ke aku, tapi aku selalu berusaha untuk itu. tau gak sih, kalau setiap kejadian indah bersama orang baik dalam hidupku, aku suka tiba-tiba nangis gitu. kaya misal, sesederhana kalian nemenin aku nyari sesuatu, padahal kalian ga dapat apa-apa dari aku. bensin kalian, yang bayar kalian, yang nyetir kalian, yang dapet untungnya aku. kaya, aku suka terharu gitu, Allah baik banget mendatangkan kalian ke dalam hidu

sebuah kicauan hati.

Hai, apa kabar? Teruntuk kalian yang setia membaca tulisan aku, sehat terus, ya! Bahagia terus. Semoga Tuhan selalu menjaga kalian.  Malam ini, aku kembali menulis setelah sekian lama. Bukannya apa, karena emang lagi kosong aja otaknya. Bukan kosong sih, lebih ke, terlalu banyak isinya sampai-sampai nggak tau lagi apa aja yang ada di dalamnya. Dan kali ini, aku memutuskan untuk menuliskan sebuah kicauan oleh hati ini yang telah ku kubur sekian lamanya. Aku nggak tau harus mulai dari mana, sejujurnya. Tapi aku akan coba, maaf kalau aneh. Akhir-akhir ini kepikiran aja, kenapa gitu? hehe. Menulis bagi aku adalah obat. Obat bagi segala penyakit yang aku rasakan. Baik emosional, maupun jasmani. Apapun situasinya, aku akan berusaha untuk menuangnya dalam sebuah tulisan. Berawal dari seorang gadis kecil yang tak pernah membuka mulutnya untuk sekedar bercerita, tak akan berbicara kecuali ditanya. Siapa? Aku lah. Apapun yang ku rasakan, pada akhirnya, menulis selalu men

Percaya Diri, atau Percaya Diri Sendiri

Sudah lama tidak bersapa. Saya mau memulai dengan, gimana? Apa kabar? Semoga kebaikan selalu menyertaimu, Aamiin.  Apa kabar emosi?  Apa kabar perasaan? Aman? Semoga. Belakangan ini, saya perhatikan beberapa manusia terduduk memeluk lututnya di sudut ruangan. Ada yang tau tidak kenapa? Ada yang peduli tidak? Begitu yang saya tanyakan padanya. Tak ada suara yang menjawab, melainkan gelengan kecil oleh kepalanya yang masih tertunduk. Jujur saja. saya bingung harus apa. Saya duduk di depannya, mengikuti apa yang sedang dilakukannya. Memeluk diri.  Saya diam saja di sana. Berusaha mengenali suasana. Tak lama suara isak tangis kecil mulai terdengar telinga. Ia yang terduduk di depanku, gini gemetar entah kenapa. Saya menyentuh tangannya lembut, dingin. Tentu saja, malam gelap dengan hembusan anginnya tentu membekukan sekujur tubuh manusia tanpa alas kaki ini. Saya beranikan diri merengkuhnya ke dalam peluk. Saya harap saya dapat menghangatkannya. Awalnya ia berusaha meronta. Beru

New Lessons

I learned couple new values these day. These are the values that I got. A story time, basically. If you don't mind to read it, please read. I hope you'll get some learning from it! The first thing is; it's so calming to accept everything that happened in your life, while ofc you keep trying to do the best thing to be happened.  It was all started when my assignment file suddenly damaged at 11 pm, when I've planned the whole weekend for doing things that I love. I know there must be a solving through it but the first thing I did,.. guess what? cried. of course haha. and I chose to start it all over again cos I had no clear mind to look for something that could recovered my file. which means, I accepted it. it was sooo hard, ofc. to accept the work you've been dealing with the whole day to be gone within second. but there's no way you could bring it back with your madness. so, why should I bother with that? the second thing happened, I broke my phone, aga

Yaudahlah.

Santai-lah namanya hidup. Kadang, pengen banget ngomong suatu hal tanpa disaring. Kaya, supaya keluar gitu, panasnya. Panas emosi. Kadang, sudah dirasa tepat, tapi masih juga salah. Kadang, pengen ngutarain sesuatu, harus ditelan lagi demi kebaikan. Dari sisi manapun itu. Kadang, pengen banget bisa tidur nyenyak tanpa harus mikir ini itu, tanggung jawab yang harus diselesaikan segera. Pengen deh, bisa bahagia semudah mengedipkan mata. Sesimpel menghidup oksigen. Pengen deh, tertidur pulas seperti bayi yang sudah kenyang. Capek gitu. Seakan hidup hanya untuk dibanting. Tapi, yaudahlah. Bisa apa kita selain menjalankannya? Berhenti? Hanya pengecut yang melakukannya. Kadang, beberapa hal memang harus di-yaudahin, hanya tuk mempermudah nafas. Terlalu memikirkan suatu hal yang tidak seharusnya membuat otak berpikir keras selalu menjadi dalangnya. Kadang, pengen gitu menampar si otak. Biar sadar. Yang dia lakukan tak lain dari melukai hatinya sendiri.