belajar bodo amat.
Dalam dunia ini, kita mengenal beberapa kata yang baik remaja pun sosok dewasa sering dengar. Di antaranya; opini, apresiasi, kritik, komentar, sambat, dan resah. Ya, seputar itu pokoknya. Kata-kata itu jarang terucap, tapi sering diwakili dengan berentet kalimat lain. Atau bisa dibilang, omongan orang. Nyambung nggak? Kayaknya nggak, hehe.
Ok, sebagai sosok remaja, kita sering bertemu yang namanya, omongan orang. Baik itu dalam bentuk opini membangun seperti apresiasi, atau bahkan kritik pedas yang menjatuhkan. Bertolak belakang memang, tapi tujuannya tidak bertolak belakang, sebenarnya. Kalau kita bisa lihat dari perspektif yang tepat.
Opini membangun, atau biasa disebut apresiasi, keluar dari mulut-mulut mereka yang manis dengan tujuan membangun, menghargai, juga menghormati. Yang seperti ini biasanya menenangkan. Tapi, tak banyak manusia yang melakukannya, ya tidak? Atau, hanya soal pengaruh lingkungan.
Yang kedua, kritik pedas. Yang satu ini sedikit menyeramkan, bak anak panah beracun yang dilepas oleh seorang pemanah handal. Tepat mengenai sasaran, membuat sengsara terkadang, kalau kita tidak berhasil menghindar atau menyelamatkan diri. Tapi, siapa sangka, yang pedas dan menyakitkan ini terkadang memiliki tujuan yang baik dan tak berbeda dari yang manis sebelumnya, membangun. Alih-alih dibangun secara lembut dengan penuh kasih sayang, di sisi lain ada juga pembentukan yang diawali dengan kekerasa serta kepedihan. Pandai-pandai mengkondisikan diri saja.
Menyakitkan memang terkadang. Ditambah melihat kondisi orang lain yang sepertinya hidupnya damai-damai saja. Apapun yang dia mau, bisa didapatnya dengan mudah. Sedang aku, melangkah saja langsung terkena cacian. Sering berpikir seperti itu?
Yap, tak bisa dipungkiri, tak sedikit sosok yang berpikir demikian, bukan? Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, katanya. Kurang apa, sih?
Nggak papa, keluarin saja emosinya.
Kesal, tidak papa. Manusiawi.
Marah? Wah, asal bisa mengontrol untuk tidak menyakiti orang lain saja.
Menangis? Nggak salah, kok.
Tapi aku laki-laki?
Lalu kenapa? Memangnya laki-laki diciptakan tanpa air mata?
Kalau aku tertawa, miris tapi. Haha, nggak papa juga.
Setiap manusia punya caranya sendiri dalam mengekspresikan emosinya. Termasuk juga dalam mengekspresikan pendapatnya. Dia yang bermain lidah api, mungkin memang seperti itu caranya dalam berkomentar. Dia yang bagai sutra melayang-layang indah menghangatkan hati, ya mungkin memang begitu caranya. Lupakan soal cara orang lain, karena toh untuk merubahnya susah, bahkan ada yang tidak mungkin. Ada satu hal yang lebih berharga untuk kamu perhatikan, siapa lagi kalau bukan dirimu sendiri.
Kamu tidak bisa mengontrol orang lain, tapi lihatlah cermin, sosok itu bisa dikontrol. Opini membangun itu, jadikan tiang pondasi. Perkataan pedas itu, jadikan semennya. Paham tidak? Jadikan keduanya menjadi material yang membangunmu. Jangan biarkan ia masuk mengeraskan hatimu, buat ia masuk dan mengkokohkan kuda-kudamu.
Tapi mengapa dia tega? Dia kan temanku.
Bersyukur dulu, deh. Jadi kamu tau yang mana yang layak kamu jadikan teman, yang mana yang kurang.
Semua itu bisa bernilai positif, jika kamu memilih demikian.
Tidak dipergunakan juga tidak apa. Toh, tidak ada yang melarang. Omongan orang tetaplah menjadi omongan jika kamu membiarkannya. Biarkan saja, jika itu tidak bisa membantumu bangkit. Biarkan saja, jika itu menyakitimu. Sudi-kah kamu melihat dirimu sendiri hancur hanya karena itu?
Coba untuk abaikan, bisa? Jika memang itu menghancurkanmu.
Coba enyahkan saja.
Coba buang.
Ini hidupmu, yang mengatur kamu sendiri, jadi tidak apa, ya? Jangan merasa bersalah.
Belajar bodo amat dalam hidup, tidak salah, kok? Mungkin itu malah obatnya? Kita tidak dapat memastikannya sebelum mencobanya, kan?
-sei. 28.07.20.
Komentar