Manusia tidak pernah puas ?

Manusia tidak pernah puas.

Sering dengar?

Atau bahkan sering berkata itu?

Terkadang, hidup bisa sebercanda itu. Untuk bisa meraih tahap tertentu, tentunya manusia perlu mati-matian berjuang bahkan hingga titik darah penghabisan. Namun, semesta rupanya gemar bercanda. Pada satu posisi bisa dilihat sosok-sosok pejuang tangguh yang dengan segenap raganya, berlari dan memanjat. Di sisi lainnya, bisa dilihat sosok dengan kelebihan yang dianugerahi padanya dengan mudahnya meraih titik dan tujuan yang sama. Kadang, kesannya tidak adil, ya? Kemudian banyak manusia meneriakkan; tegakkan keadilan!

Ada saat ketika tiap raga pada semesta ini berlomba-lomba untuk meraih titik terbaik dalam hidupnya. Berlomba menyaingi dan mengalahkan sosok di sebelahnya. Segala cara dilakukan, bahkan cara curang sekalipun. Itu sih, menjadi tanggung jawab setiap pribadi. Tapi, di mana keadilan?

Manusia sering berkata, aku ingin meraih titik itu. Aku akan berjuang untuknya. Pagi hingga larut malam dihantam demi tekadnya itu. Lingkungan sekitar tak jarang diabaikan, karena dirasa dapat menjadi distraksi tersendiri baginya. Bahkan, kewajiban menjadi sosok manusia sering terabaikan. Seperti, merawat raga sendiri misalnya. Makan dan minum lewat, tidur yang cukup apa lagi. 

Begitulah terkadang kondisi seorang insan saat ia memiliki tekad yang bulat. Hingga saat ia sampai kepada titik itu, ia tersenyum. Tersenyum kemenangan pada awalnya. Seperti, akhirnya sampai juga. Akhirnya bisa mengungguli. Namun, kepala suka tak tinggal diam. Menolah-noleh menjadi kebiasaannya. Ketika baru hendak mengambil sedikit istirahat, tertangkaplah gambar perjuangan sosok di sebelahnya. Mereka tidak berhenti? Tanya raga itu saat baru saja ingin mendudukkan pantatnya. Senyuman itu kini berubah menjadi senyum masam. 

Kalau begitu, aku juga bisa. Ujarnya.

Alih-alih mendudukkan raganya, manusia kembali meraih tasnya untuk kembali berjuang. Tanpa sadar, ia melupakan banyak hal, terutama, menghargai dirinya sendiri. Menghargai perjuangan sendiri. 

Terus memanjat adalah rutinitasnya sekarang. Mengawasi pergerakan sekitar, menjadi kegiatan sepasang matanya. Bukannya apa, sebenarnya hanya ingin membuat diri menjadi lebih baik. Suatu ketika, ketika sedang beristirahat sejenak di tengah perjalanan, matanya menangkap satu dua sosok yang dengan mudahnya melewati tebing yang ada dengan sebuah pesawat. Dengan kata lain, perjalanannya dipermudah. Ketika raga lain harus susah-susah mandi keringat dan berupaya keras di setiap langkahnya, ternyata ada sosok yang dengan mudahnya melewati mereka dengan kemampuan yang dimilikinya. Sekarang, mulut mulai bekerja. Sumpah serapah tak jarang keluar dari lubang kecil itu. 

Aku berjuang sejak dulu, lalu ada orang dengan mudahnya melampauiku dengan segala kelebihannya. Di mana keadilan?

Yap, begitu sekiranya gambaran yang terjadi pada semesta. Berlomba untuk meraih titik tertinggi, untuk apa? Berlomba menjadi yang terbaik, untuk apa? Untuk diri sendiri? Untuk membanggakan orang tercinta? Oke, masuk akal. Tapi apa harus dengan meraih titik yang menjadi target banyak orang? Apa standar sosial harus menjadi latar belakangnya? Menjadi miliarder terkenal di dunia, menjadi artis paling top se-dunia? 

Coba lihat ke belakang. Lihatlah sosokmu, lihatlah jalanmu. Sudah seberapa jauh? Apa ini yang paling cocok dengan ragamu? Oke kalau ya, lanjutkan. Tapi, berlomba dengan sosok di sekitarmu bukanlah tujuannya. Tiap raga memiliki porsi dan posisinya masing-masing. Lihatlah perjalananmu, sudah sejauh ini. Bahkan terkadang, lebih jauh dari yang terbayangkan, kan? Kemudian, telusuri jalannya. Lihat, banyak hal yang mungkin saja terlewatkan hanya karena terfokus pada satu tujuan inti, tujuan yang didambakan semua orang. Tanpa kamu sadari, banyak jalan-jalan lain yang dapat menuntunmu bahkan ke tempat yang lebih baik untuk dirimu, dengan jalan dan rintangan yang lebih ramah. 

Meraih sesuatu yang didambakan dengan tekad tinggi tidak pernah menjadi hal yang salah. Tapi, terus menggunakan target dan standar sosial yang sedikit salah. Berlomba dengan raga sekitar yang menjadi tujuannya, juga sedikit keliru. Terkadang, beberapa insan melupakan yang namanya apresiasi. Untuk setiap raga yang bersedia dengan tulus membantu, pun untuk raga sendiri. Raga yang bersedia tuk turut berjuang bersama. Berhenti sejenak tuk pelajari medan perang bisa menjadi strategi yang baik. Ketimbang berlari tanpa strategi matang dengan harapan dapat sampai lebih dulu.

Pahami medannya. Kalau lelah, sudahi sejenak tak apa. Perhatikan sekitar, mungkin itu bukan jalan terbaik untuk hidupmu. Mungkin banyak jalan lain yang jauh lebih pantas ditempuh. Berlomba dengan raga sekitar, untuk apa? Ragamu dengannya tentulah berbeda. Apalagi takdirnya. Temukan jalanmu sendiri, susun strategi dan tujuan dengan baik, lalu ketika sudah sampai pada tujuan itu, istirahat sejenak. Kembali tuliskan strategi dan tujuan lain, tanpa melihat sekitar. Tanpa menjadikan tujuan orang lain menjadi milikmu. Karena, sebenarnya, tak ada gunanya berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Toh, pada akhirnya yang menghidupi dirimu ya dirimu sendiri. 

Perjuanganmu sudah hebat. Kamu sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Kamu harus mengatakan itu pada dirimu.

Tapi terkadang, tak bisa dipungkiri. Merasa terbelakang sering mampir dalam hidup. Insecurity, over thinking mendukung terjadinya perlombaan dalam hidup. Padahal kan, nggak perlu. Tapi untuk terus berpegang pada tekad yang berbeda dari kebiasaan semesta, tidaklah mudah. Tidak apa, kita bersama di sini. Sama-sama belajar, sama-sama membangun. Ketika ada yang kesusahan, bantu. Ketika ada yang merasa tidak puas, bantu dia untuk menghargai usahanya. Bantu dia untuk mencari tujuannya sendiri. Dengan begitu, kita bisa mudah akrab dengan yang namanya, damai dengan diri sendiri.



-sei. 20.07.201

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenggelam Dalam Pikiran.

Siapa?

Awal Baru