sebuah kicauan hati.
Hai, apa kabar? Teruntuk kalian yang setia membaca tulisan aku, sehat terus, ya! Bahagia terus. Semoga Tuhan selalu menjaga kalian.
Malam ini, aku kembali menulis setelah sekian lama. Bukannya apa, karena emang lagi kosong aja otaknya. Bukan kosong sih, lebih ke, terlalu banyak isinya sampai-sampai nggak tau lagi apa aja yang ada di dalamnya. Dan kali ini, aku memutuskan untuk menuliskan sebuah kicauan oleh hati ini yang telah ku kubur sekian lamanya.
Aku nggak tau harus mulai dari mana, sejujurnya. Tapi aku akan coba, maaf kalau aneh.
Akhir-akhir ini kepikiran aja, kenapa gitu? hehe.
Menulis bagi aku adalah obat. Obat bagi segala penyakit yang aku rasakan. Baik emosional, maupun jasmani. Apapun situasinya, aku akan berusaha untuk menuangnya dalam sebuah tulisan. Berawal dari seorang gadis kecil yang tak pernah membuka mulutnya untuk sekedar bercerita, tak akan berbicara kecuali ditanya. Siapa? Aku lah.
Apapun yang ku rasakan, pada akhirnya, menulis selalu menjadi jawabannya. Mungkin terdengar aneh bagi beberapa orang, tapi mungkin sebenarnya kalian juga merasakannya. Dalam bentuk berbeda. Seperti, terkadang seseorang menuangkan ceritanya dalam sebuah alunan melodi lembut, atau menyuarakannya melalui sebuah goresan sketsa sederhana, atau secara harfiah menyeritakannya. Tak semua orang mudah berbagi. Termasuk cerita mereka. Termasuk aku, tadinya. Hingga suatu saat aku menemukan fakta bahwa menuliskannya justru menyembuhkanku, jadi itulah yang ku lakukan.
Menuliskan apapun entah itu bahagia, menyedihkan, menyakitkan. Tertuang secara tersurat dengan emosi yang terukir tersirat. Bagi ia yang memahami, akan tau kisah dibalik tulisan itu. hehe, memang, terkadang tidak mudah bagi seseorang memahami tulisan hingga gaya bahasa orang lain. Maka dari itu, menulis banyak membantuku, karena meski dibaca banyak orang, tak semuanya akan mengerti. Dan bagi ia yang mengerti dan mendalami, akan datang dengan sendirinya. Membantu, hingga menenangkan.
Kalau aku boleh jujur. Tidak semudah itu. Segelintir orang berpikir, wah dia menuliskan kisahnya lagi. Supaya apa coba? Dibaca semua orang, aneh. Freak.
Haha. Tidak papa, aku tidak mendengarkan itu. Aku melakukan apa yang menurutku benar dan baik untukku, dan mungkin akan begitu pula bagi mereka yang memahami.
Perlu ada tangis yang dahsyat sebelum ukiran aksara itu terlahir pada semesta. Perlu ada teriak yang menyayat hati sebelum akhirnya seseorang dapat membaca barisan aksara lembut itu dan mengomentarinya. Perlu adanya tawa lepas yang memikat sebelum akhirnya semesta dapat mengerti suatu kejadian di balik rentetan kata yang terukir manis. Perlu adanya amarah panas yang membara sebelum akhirnya dunia dapat mengetahui.
Begitu jika bisa ku deskripsikan secara singkat.
Menangis di tengah malam bukanlah hal yang biasa dalam hidupku. Melainkan hal kecil yang sudah pasti terjadi. haha, maksudnya, sebuah kewajaran bila itu terjadi. Karena bagiku, tulisanku lebih sering diiringi dengan air mata ketimbang yang lain. Tak selalu air mata patah, pun bulir bahagia. Bahkan, amarah pun dapat tersimat dalam aliran cairan bening itu.
Setiap orang memiliki kelemahannya masing-masing. Begitu pula aku. Pun kamu.
Butuh ledakkan keberanian yang dahsyat untukku menuliskan ini. Butuh beribu ledakkan lain untukku pada akhirnya mempostingnya. Sebut saja aku berlebihan, tapi memang begitu adanya.
Teruntuk manusia baik yang selalu berada di sisiku, yang selalu membaca, selalu mengapresiasi, selalu menghibur hingga menenangkan. Terimakasih, tanpa kalian, aku hanyalah gadis kutu buku dengan keseharian membaca dan menulis. Berkat kalian, bahagiaku semakin sederhana. Menulis dan apresiasi dapat menerbangkanku ke langit ke tujuh, membaca dapat menjadi rutual pembawa tidurku.
Terkadang, aku berusaha untuk tidak memikirkan sosok-sosok yang tidak seharusnya ku pikirkan. Karena, yah, kalau iya, mungkin akan menyayat hati. Atau mengobarkan api emosi. Menulis menjadi pelariannya. Itulah alasanku, pada awalnya. Hingga semakin hari, aku semakin memaknai aksara. Aku semakin memahaminya, kalau ia memiliki kekuatan, yakni menyembuhkan. Bukan hanya ragaku, namun juga raga bebas di luar sana. Maka, terimakasih untuk setiap raga yang mampir. Terimakasih yang lebih bagi raga yang meninggalkan sepucuk surat berisi ucapan terimakasih sudah melahirkan jutaan aksara indah itu, atau sekedar membiarkan ku tau, aksara sederhana itu menyembuhkan.
Jujur saja, memang itu tujuanku. Setidaknya membuat diri ini lebih berguna pada semesta ini. Dengan apa yang aku miliki. Dengan hal sederhana yang ada padaku.
Terimakasih pada insan manusia baik. Aku sangat bersyukur semesta dapat mengatur skenario kita untuk bertemu.
Dan teruntuk mereka di luar sana, yang malu menampakkan diri juga, terimakasih ku ucapkan. Kalian berarti.
Oh ya, satu lagi. Titip pesan, teruntuk kamu, seorang yang aku takut untuk hubungi. Teman baikku! Penolongku beberapa bulan lalu, lalu kamu pergi menghilang. Tidak benar-benar menghilang, karena aku masih bisa melihat namamu di layarku sekarang. Aku mengerti maksudmu, tapi hanya hipotesisku, seperti biasa haha. Karena, tak satupun dari kita menyampaikan kabar satu sama lain sejak hari itu. Jadi, siapa yang tau kebenarannya selain diri sendiri? Baik-baik ya, orang baik! hehe.
Yasudah, kurasa itu saja. Lebih baik dipotong sebelum aku mulai melantur aneh, yang akan membuat mereka bergedik dan berkomentar aneh-aneh. Haha. tidak, aku hanya bercanda. oh tidak, aku serius lah!
Baiklah, terimakasih sudah baca. Tinggalkan pesan, lewat apapun yang dapat menghubungkan kita bisa menjadi ide yang baik, sekedar saran ;)
-sei. 18.06.20.
Komentar