Enyah kau, wahai diriku.

Malam itu,

Ah selalu malam. Entah mengapa suasana gelap bisa mempengaruhi emosi, yang tadinya biasa saja, bisa meledak dalam hitungan detik. Yang tadinya ingin mengubur saja, bisa justru meneriakkannya dengan sekuat tenaga. 

Angin itu, berdesis di telinga. Alunan melodi lembut dari lagu yang dimainkan tidak berhasil menutup desisannya. Menggelitik manis, katanya. Lagi lagi, satu-satunya teman malam itu. 

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba bulir air membasahi pipi indah itu. Padahal, tidak ada hujan malam itu. Haha. klise. Tapi fakta.

Lucu, ya? Dari yang tadinya nggak bisa berhenti ngomong, jadi lebih nyaman bungkam karena kenyataan. Dari yang tadinya gemar mempertanyakan hal kecil hingga besar, penting hingga tidak sama sekali, jadi lebih nyaman mengunci otaknya dari rasa ingin tau. Kenyataan bahwa menelan semua sendiri jauh lebih baik daripada mengeluarkannya. Haha. Lucu, banget!

Rasanya, jadi benci segala hal. Bukan karena mereka salah. Tapi, ya, benci aja gitu. Kaya, kenapa, sih? Ketika raga tengah capek, mengapa tidak semesta berhenti sejenak dan memberi ruang untuk beristirahat? Kenapa, sih? Ketika sudah mati-matian berlari dan berjuang, semesta malah merobek hasil yang telah diupayakan. Seolah sebuah lelucon, hal tak terduga terus terjadi. Ingin sekali ada yang tau. Ingin sekali meneriakkan; HEI AKU DI SINI BUTUH BANTUAN! haha. Tapi mata hanya bisa terpejam, mulut terkatup. Mana bisa begitu. Bukan begitu cara kerjanya. 

Di ruangan itu, hanya ada diri sendiri dan udara malam. Tidak ada apa-apa selain cermin. Menatapnya saja enggan, karena cermin itu pecah acapkali kedua bola mata itu menatapnya tajam. Bahkan tuk memantulkan bayangan diri sendiri saja tidak kuat. Lantas, harus apa lagi?

Apa diri sendiri ada untuk diri sendiri saja tidak cukup?

Terkadang, rasanya menutup mulut saja tidak cukup. Rupanya, menelan pecahan kaca sendiri masih kurang. Telinga terus menangkap desas desus raga sekitar. Keluhan pun keresahan silih berganti, tanpa ada yang menyadari, apa yang terucap itu bagai pisau bagi raga lain. Tidak peduli sehancur apa dunia orang lain, ketika ia masih bisa menyantap makanannya dengan senyuman, itu cukup baginya. Tanpa ia sadar, tindakannya merobek bumi perlahan. Setelahnya? Penyesalan datang di akhir, ketika yang mati tetap mati, yang hidup harus lanjutkan hidupnya.

Haha, ingin rasanya langsung mengenyahkan diri sendiri. Ketika mengenyah raga lain rupanya masih kurang. Tapi, siapa lagi sih yang bisa bertahan sejauh ini selain diri sendiri? Ketika hanya angin malam yang bersedia menemani, pada raga ini, bertahan diri sendiri. 

Mau tidak mau, bertahan. Terkadang, setiap manusia perlu untuk sedikit egois untuk menyelamatkan diri sendiri. Tanpa campur tangan yang kotor, tentunya. Haha, klise, lama-lama bosan dibuatnya.


Katakan saja pada dunia, esok, kalau tak kau temukan lagi cahaya yang kau cari pada sorot mataku, jangan tanyakan padaku, mengapa? Tanyakan pada dirimu, apa yang sudah kau perbuat?



-sei. 27.08.20.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenggelam Dalam Pikiran.

Siapa?

Awal Baru