Percaya Diri, atau Percaya Diri Sendiri

Sudah lama tidak bersapa. Saya mau memulai dengan, gimana? Apa kabar? Semoga kebaikan selalu menyertaimu, Aamiin. 
Apa kabar emosi? 
Apa kabar perasaan? Aman? Semoga.
Belakangan ini, saya perhatikan beberapa manusia terduduk memeluk lututnya di sudut ruangan. Ada yang tau tidak kenapa? Ada yang peduli tidak?

Begitu yang saya tanyakan padanya. Tak ada suara yang menjawab, melainkan gelengan kecil oleh kepalanya yang masih tertunduk.


Jujur saja. saya bingung harus apa. Saya duduk di depannya, mengikuti apa yang sedang dilakukannya. Memeluk diri. 


Saya diam saja di sana. Berusaha mengenali suasana. Tak lama suara isak tangis kecil mulai terdengar telinga. Ia yang terduduk di depanku, gini gemetar entah kenapa. Saya menyentuh tangannya lembut, dingin. Tentu saja, malam gelap dengan hembusan anginnya tentu membekukan sekujur tubuh manusia tanpa alas kaki ini. Saya beranikan diri merengkuhnya ke dalam peluk. Saya harap saya dapat menghangatkannya.


Awalnya ia berusaha meronta. Berusaha teriak dengan isak tangis yang menggema. Namun apa daya, seperti, energi miliknya sudah habis hingga perlahan ia terdiam sembari saya usap lembut rambutnya.


"Saya tidak tau kamu kenapa, apa yang menimpamu, apa alasanmu di sini. Tapi yang saya tau, semua jawaban dari itu pasti tidak indah, kan?"


"Kalau kamu keberatan, saya bisa lepas kamu dan memberi kamu waktu untuk menyendiri." 


Ia mengeratkan peluk itu dengan sisa tenaga yang dimilikinya, "tolong aku."


Saya membantunya mengatur nafas. Ia masih menenggelamkan wajahnya. Saya bisa bayangkan betapa hancurnya ia sampai-sampai ia tidak kuat mengangkat wajahnya.


"Saya akan bantu, semampu saya. Saya tidak minta kamu untuk bangkit sekarang, tapi saya minta tolong kamu untuk tarik nafas dalam dan tenang, bisa?"


"Sekuat apapun saya membantu kamu, pada akhirnya kamu harus bisa sendiri, kamu tau itu kan?"


Ia hanya diam tanpa merespon. Tapi saya tau, ia mendengarkan. 


"Saya bukan siapa-siapa. Mungkin, hanya kamu yang kenal kamu, jadi satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu pada akhirnya hanya dirimu sendiri."


Ia menggerakkan tubuhnya perlahan. Seperti, ia ingin merespon. Saya melepas dekapan itu. Membantunya bersandar pada dinding beton di belakangnya.


"Kamu jangan bicara dulu. Kamu sedang kacau, kalau kamu bicara sama saja kamu membuat energimu sia-sia. Dengarkan saja, ya?"


Mengangguk menjadi jawabannya sekarang. Masih dengan wajah tertunduk, saya melanjutkan perkataan saya.


"Maaf saya nggak mau bilang nggak papa, atau semua akan baik-baik saja. Seperti sekarang ini, duniamu runtuh di tengah sibuknya semesta. Meski saya tau, mungkin kamu butuh seseorang untuk bilang itu. Untuk meyakinkan kamu. Saya minta maaf sebelumnya saya nggak bisa jadi orang itu."


Untuk pertama kalinya, ia mengangkat wajahnya. Saya dapat melihat dengan jelas pantulan diri saya di binar matanya. Berantakan sudah. Begitu yang saya dapat dari wajahnya. Sementara ia? Ia menatapku heran, sekaligus terkejut seakan sesuatu yang aneh ada pada diri saya. Padahal tidak/


"Kamu diam. Jangan katakan apapun yang ada di benakmu. Simpan energimu. Simpan energimu untuk waktu ketika kamu siap untuk bangkit. Saya tau apa yang kamu pikirkan sekarang. Tenang, ya? Sekarang saya ada bersamamu. Kamu nggak sendiri."


Ia menelan ludahnya dengan berat. Saya bisa lihat itu. Raut wajahnya berubah, dari hancur dan putus asa menjadi heran. Di balik heran itu, saya bisa lihat cahaya harapan di sana.


"Saya tidak mau meyakinkan kamu. Saya bisa saja meyakinkan kamu kalau kamu itu kuat, tapi saya tidak mau, meski saya tau kamu kuat,"


"Saya tidak mau menuntunmu keluar dari kegelapan ini menuju mimpi yang selalu kamu dambakan,"


"Sekarang, kamu tau saya. Kamu tau saya tidak mau bukan karena saya tidak peduli. Melainkan sebaliknya. Saya terlalu peduli hingga saya tidak mau melakukannya."


Ia kembali menenggelamkan wajahnya di antara kegelapan yang ada. Entah apa yang ia pikirkan.


"Sekarang, bagaimana perasaanmu?"


"Hei, lihat saya."


Butuh sekitar 5 detik untuk ia pada akhirnya mengangkat wajahnya. Butuh 5 detik selanjutnya untuk ia menangkap mata saya.


"Saya ingin kamu percaya. Jangan percaya sama saya, karena saya takut di kemudian hari saya mengecewakanmu, meski saya tidak akan pernah berniat demikian. Saya minta kamu percaya pada diri sendiri. Saya minta kamu percaya. Percaya kalau kamu bisa. Kalau kamu bisa sendiri. Kalau kamu kuat untuk bangkit sendiri. Karena pada akhirnya, ketika seluruh semesta mengecewakanmu, kamu butuh dirimu untuk menyelamatkan dan bertahan pada ragamu. Saya mohon, percaya pada diri kamu sendiri."


Saya mengusap sisa air mata yang masih menggantung membasahi pipinya dengan sapu tangan putih saya.


"Putih terkena noda, menjadi tak putih lagi. Namun bukan berarti ia tak suci lagi, kan?"


"Hanya stigma masyarakat yang membelokkan persepsi tersebut."


Ia tetap terdiam, kali ini matanya menuju kedua kakinya yang masih sedikit gemetar. Ia menghindari mata saya. Saya tau, pasti berat untuknya.


"Saya minta kamu untuk bedakan, percaya diri dan percaya pada diri sendiri. Artinya sangat jauh. Untuk sekarang, saya minta kamu untuk percaya pada diri sendiri dulu."


"Sini, kemarilah. Saya beri kehangatan."


Saya mendekapnya erat kali ini, mengelus rambutnya lembut, mengatur nafas dengannya. Ia tetap diam, bungkam, tak sedikitpun suara keluar dari bibir mungilnya. 


"Kamu tau saya, Saya itu kamu. Saya bantu kamu untuk selamatkan saya dari keterpurukan ini. Saya minta, jaga saya selagi kamu bisa. Tangguhlah."


Saya pergi setelahnya. Meninggalkan ia terduduk sendiri di sana. Meninggalkan ia dengan mata sembab dan raga kacaunya, yang belum sempat membalas sepatah katapun atas apa yang saya katakan padanya.


"Terimakasih. Terimakasih. Saya akan selamatkan saya."




-sei. 14.05.20.



OLA. Saya baik, saya mau jelasin. Kalau-kalau ada yang bingung sama tulisan saya ini. Memang aneh, ya? Jadi, sebenarnya ini adalah dialog antara seseorang dengan dirinya sendiri. Dengan jati dirinya. Untuk meyakinkan, sehancur apapun kamu, masih ada bagian dari dirimu yang akan setia membantumu untuk berdiri tegak. Saya harap, ini bisa membantu kamu juga.


Salam hangat, sei.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenggelam Dalam Pikiran.

Siapa?

Awal Baru