Penerimaan Diri.

Seiring berputarnya jarum jam, seiring redupnya pancaran sinar matahari, rasa itu hadir. Rasa lemah, rasa letih, rasa remuk, rasa ingin menghilang.

Pernah tidak merasa demikian? Bersama sinar mentari, kita membawa mata untuk melihat dunia. Dunia yang indah, dunia sempurna, dunia yang penuh kebahagiaan, dunia milik raga lain. Aku pernah mengalaminya, mungkin, sering?

Hiruk piruk kota itu terdengar menyenangkan baginya, tapi tidak bagiku saat itu. Yang terasa hanyalah sesak, sukar untuk bernafas. Matahari siang itu terasa hangat baginya, sebaliknya, ia membakar lapisan kulitku perlahan-lahan. Melihat dunianya sangat menyenangkan, ya? Melihatnya menaiki podium kemenangan itu untuk ke 10 kalinya tahun ini, melihat raga lain tersenyum di atas sana, meski mereka sudah sering berada di sana. Terkadang, aku berangan, seperti apa ya rasanya tersenyum di sana? Apakah lebih menyenangkan dan melegakan? Huh, aku tak tau jawabannya.

Ketika memutar kepala ke arah lain, dunia juga berputar. Menampilkan adegan berbeda, dengan satu hal yang sama. Kebahagiaan yang terlukis indah pada raga lain. Terkadang, ragaku hanya bisa berbisik pelan. Sangat pelan hingga cicak di sudut kamarku tidak mendengarnya. Indah, ya, berbahagia? Indah ya memiliki semua itu? Rasanya seperti, dunia berwarna. Tidak seperti yang kulihat sekarang, hitam dan putih.

Hitam putih itu mengantarku ke sisi lain dari semesta. Sisi pahit yang mungkin tidak pernah diberi pemanis. Sisi tanpa warna, tanpa saturasi. Hanya ada bayangan. Bayangan itu bak tirai yang menutupi duniaku. Membuatnya gelap, hingga terkadang aku membutuhkan bantuan lentera untuk membantuku mengamati dunia. 

Mulutku terkatup, tanganku mengepal. Diam. Duniaku terdiam. Entah dia tetap berputar atau tidak, yang jelas, semua membeku. Yah, terkadang, butuh sedikit kejutan petir untuk membuatnya berjalan. 

Monoton. 

Terkadang semuanya menjadi monoton. Monoton yang lama-kelamaan menenggelamkan. Hingga aku kembali tersungkur di dasar sana. 

Terkadang, aku bergumam. Apa aku salah, ya? Sepertinya, aku terlalu lamban. Sepertinya, terlalu banyak benang kusut yang sibuk ku urai. Rumit. Sangat rumit. Hingga ia bertambah kusut, dan tak lain, ia hanya menyita semua waktuku.

Terkadang, aku berangan, sepertinya aku terlalu banyak bergumam dan memutar kepala. Memutar kepala melihat dunia raga lain, kemudian menggumamkan penilaianku terhadapnya. Sampai-sampai, aku tak sadar, hal itu hanya memperkusut benang-benang kehidupanku. Memenuhi pikiranku, hingga menenggelamkanku. Padahal, duniaku tidak harus berwarna, duniaku tidak harus seperti dunia di luar sana. Hitam dan putih dengan paduan bayanganpun juga indah. Bagimanapun ia, ia hanya perlu hidup. Duniaku, hanya perlu aku untuk hidup.

Sudut pertemuan antara hitam dan putih itu menyadarkanku. Bahwa dunia setiap raga itu berbeda. Ada yang memang beragam warnanya, ada yang hanya memiliki warna dan gradasi tertentu, serta, ada juga yang hanya memiliki satu hingga dua warna saja. Yap, seperti duniaku.

Sudut itu menyadarkanku. Dua warna bukan berarti suram dan tidak membahagiakan. Semua hanya persoalan bagaimana kita memaknainya, dari mana kita memandangnya. Ketika persepsi telah jatuh pada kegelapan, suram, dan jalan buntu, maka begitulah dunia kita terbentuk. Meski sebenarnya dunia itu berwarna, jika persepsi itu tidak bisa kita kondisikan, semuanya akan berakhir pada kepahitan dan jalan buntu.

Apapun yang raga lain lakukan, biarlah. Itu hanya akan mempengaruhi dunianya. Karena duniaku, milikku seutuhnya. Dengan izin dari pemilik semesta ini, aku yang memegang kemudi atas apa yang ingin ku lakukan pada duniaku. 

Dari sudut pertemuan hitam dan putih itu, aku mengerti. Duniaku tidak harus berjalan sebagaimana dunia milik raga lain berjalan dan berputar. Duniaku tidak perlu berlari keras seperti yang biasa dunia raga lain lakukan. Duniaku hanya butuh aku untuk memahaminya, duniaku hanya butuh aku untuk mengemudikannya. Duniaku hanya perlu aku untuk menerimanya seutuhnya.

Jadi, untukku di dasar sana: inilah duniamu. Tariklah nafasmu dalam, hempas semua benang kusut itu, pusatkan pandanganmu lurus ke depan. Jalani duniamu sebagai salah satu caramu untuk menerima dan menyayangi dirimu sendiri.


-sei. 21.11.21.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenggelam Dalam Pikiran.

Tembok yang kubangun sendiri.

Aku berharga?