Pengembangan Diri Atas Keegoisan

Selama hati ini masih egois, semua akan jauh dari kata indah.
Selama itupun, hidupmu akan habis termakan waktu.

Manusia diciptakan dengan akal, perasaan, dan nafsu. Keegoisan termasuk dalam nafsu yang berdiri angkuh. Terkadang, keangkuhan itu merusak perdamaian yang susah payah dibangun oleh semesta.

Manusia dengan segala keangkuhannya.

Tak heran jika banyak dari mereka merasa kecil akibat oknum-oknum yang melayang-layang di atas keangkuhannya. Perasaan itu selalu menghantuiku. Merasa kecil di tengah orang-orang yang memiliki minat yang sama persis dengan diriku. Merasa tak berdaya di tengah dunia yang ternyata jauh lebih terintegrasi ketimbang diriku.

Tak selalu salah individu lain, ketika diri ini merasa rendah, serendah semut yang terbaring di tengah megahnya Museum Louvré. Tak selalu salah mereka, ketika raga ini terseok akibat angannya sendiri.

Terkadang, kita menyalahkan raga lain ketika ia mendekati kata sempurna.

Kenapa sih ia bisa berlari kencang, sedang aku, berjalan saja masih terpincang-pincang?

Kenapa sih ia bisa bercakap lantang, sedang aku, mengucap nama saja terbata-bata?

Kenapa sih ia bisa terbang tinggi, sedang aku, berdiri saja terkadang tak mampu?

Kenapa sih, orang lain bisa, sedang aku ingin bangkit saja seperti ada saja cara semesta untuk kembali menjatuhkanku?

Apa ada yang pernah berpikir demikian? Persis seperti pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantui pikiranku, bahkan hingga tengah malam saat lampu kamar sudah dipadamkan. Semoga tak banyak yang merasa seperti ini. Karena, sungguh, menyakitkan.

Yang lebih menyakitkan lagi ketika, kamu sudah berlari sejak awal, namun ternyata kamu tidak cukup cepat bahkan masih kurang awal dalam memulai. Hingga ada saja saat ketika kamu bahkan belum merasa puas, belum sempat menghela nafas, semesta sudah kembali menghempasmu. 

Mungkin terdengar aneh bagi beberapa orang. Tapi bagi yang merasakannya, pasti bisa bergumam, "can relate". 

Tak apa, untuk kamu yang merasakan hal serupa. Aku di sini hanya ingin memberitahu, bahwa, ya, aku juga merasa hal yang sama. Sesungguhnya, pemikiran dan pertanyaan-pertanyaan demikian tak seharusnya muncul dalam otak kita. Sudah kewajiban kita, menghapus dan menguburnya dalam. 

Untuk apa? Untuk menyelamatkan diri kita.

Untuk apa? Untuk membangkitkan raga kita.

Karena, hidup bukan mengenai siapa yang terbaik. Siapa yang paling sempurna. Hasil milik siapa yang maksimal.

Hidup ini mengenai, seberapa jauh kamu sudah berjalan? Seberapa kuat kamu berlari meraih tekad? Tekad mulia apa saja yang sudah kamu raih? Perubahan indah seperti apa yang telah kau upayakan selama hidupmu?

Kamu tidak bisa membandingkan apa yang orang lain lakukan, dengan apa yang kau lakukan. Orang lain bisa membuat penelitian menggemparkan dunia, sedang kamu baru menyelesaikan pekerjaan rumahmu, dan kamu men-cap dirimu payah. Itu salah.

Kamu tidak tau latar belakangnya. Kamu hanya tau latar dirimu sendiri.

Siapa yang tau kalau dia ternyata memang sudah biasa melakukan hal itu? Siapa yang tau kalau dia memang dianugerahi intelektual yang terlampau tinggi? Sehingga dalam hidupnya dia tidak berprogress melakukan hal baru bahkan menantang dirinya menjadi lebih baik. Ia hanya melakukan hal yang sudah biasa ia lakukan, dengan mudahnya.

Namun kamu, kamu telah melakukan banyak hal dalam hidupmu. Melakukan pekerjaanmu, mengembangkan kreatifitasmu di dunia luar, yang sebelumnya sama sekali tak kau kenal. Kamu mempelajari hal baru dari nol, ketika orang-orang memiliki kelebihan dari sekitar sehingga mereka bisa melampauimu. Tapi kamu tidak menyerah. Kamu melakukan perubahan besar untuk pengembangan dirimu, meski hasilnya tak sebanding dengan milik orang lain. Dan ketika kamu pulang ke rumah, kamu masih menyempatkan diri untuk melakukan pekerjaan rumah yang memotong waktu istirahatmu. 

Mana yang lebih baik?

Tidak ada. Tak ada yang berhak menilai.

Tapi kamu, patut mengapresiasikan dirimu karena terus berlari dan berjuang. Sosial mungkin akan lebih mengapresiasi dia dengan hasil jauh lebih bagus darimu. Tak apa. Karena orang tak tau dibaliknya, orang itu sudah terbiasa melakukan hal tersebut, hingga ia hanya membutuhkan satu jam untuk menyelesaikannya. Sedangkan kamu butuh berjam-jam untuk memahami sekaligus menciptakan karya. 

Proses mana yang lebih bermakna?
Milikmu.

Jangan nilai milik orang lain. Apresiasikan dirimu sendiri. Maka, kamu akan bahagia.


-14.12.19. sei.


pic was taken by me on December 4th 19,
in Kota Lama, Semarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenggelam Dalam Pikiran.

Siapa?

Awal Baru