Perbedaan? Bahaya?
Ada banyak karakter manusia di muka bumi ini. Tak sedikit yang berbeda satu sama lain. Terkadang, perbedaan itu menimpulkan percikan permasalahan. Mulai dari kecil hingga besar. Perbedaan selalu menjadi alasan dari sebuah ketidak-harmonisan dalam hidup. Intoleran, terkadang menjadi salah satu faktornya.
Perbedaan itu terklasifikasikan menjadi banyak kelompok. Perbedaan suku, agama, gaya hidup, lingkungan, finansial, paras, bahkan pendapat pun bisa berbeda. Menurut aku, perbedaan itu bersumber pada satu induk, yakni, perbedaan karakter manusia itu sendiri.
Karakter; sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.
Tak mungkin 7 miliar manusia di bumi ini hanya memiliki satu hingga dua karakter, selebihnya sama. Perbedaan itu menimbulkan keindahan, terkadang pula keburukan; seperti perpecahan.
Pernah mendengar kisah perpecahan sebuah kerajaan hanya dikarenakan sebuah berbedaan yang berakar pada perbedaan karakter? Yang pada akhirnya menyulut ego untuk berkuasa di atas yang lain? Ya. Seperti itulah kira-kira gambaran kecil mengenai perpecahan. Namun di sini, aku tak ingin membahas lebih dalam mengenai hal itu, aku hanya ingin mengingatkan, bahwa, perbedaan merupakan suatu hal yang lazim. Suatu hal yang bukan merupakan sebuah dosa jika kita menemuinya. Tak ada keharusan, tuntutan bagi kita, manusia, untuk meniadakan perbedaan itu. Dengan kata lain, melarang adanya perbedaan. Sebaliknya, manusia diperintahkan untuk saling menyatukan insan satu dengan lainnya, menyayangi makhluk satu dengan lainnya. Bukankah begitu?
Banyak di antara kita, manusia, yang selalu bertanya-tanya, mengapa ia diciptakan berbeda dari yang lain?
Mengapa tidak kulitnya semulus dia?
Mengapa tidak kantongnya setebal dia?
Mengapa tidak parasnya seindah dia?
Mengapa tidak otaknya seencer dia?
Mengapa tidak...
Mengapa..
Mengapa..
Mengapa aku seperti ini?
Ya. Aku juga sering mempertanyakan hal serupa pada semesta. Seolah, semesta tidak pernah adil dalam membagi peran. Dia yang sempurna, semakin sempurna dengan dukungan harta dan otaknya yang cemerlang. Seolah, raga ini diciptakan hanya untuk menjadi rongsokan.
Tapi, tidak begitu cara kerja semesta, teman. Tidak pantas mulut ini berkata demikian. Tidak etis otak kita yang sempurna ini berpikir demikian. Tuhan, dengan ke-Agungan-Nya telah mengatur semesta sedemikian rupa agar menjadi tempat terbaik bagi setiap individu di dalamnya. Bayangkan, entah sudah berapa nikmat yang kau terima tanpa harus mengeluarkan satu perak pun dari kantongmu. Bayangkan, ke-murahan-Nya dalam menghidupi semesta ini.
Hilangkan pikiran-pikiran itu. Perbedaan pasti akan tetap ada. Suatu kesenjangan itu akan selalu ada. Namun, kita bisa menghindarinya. Dengan apa?
Bagaimana jika dengan mengganti semua pertanyaan itu dengan,
mengapa tidak aku bersyukur?
-12.12.19. sei.
pic was taken by me, on December 2nd 19, sunset in front of home sweet home, Bantul, Yogyakarta.
Perbedaan itu terklasifikasikan menjadi banyak kelompok. Perbedaan suku, agama, gaya hidup, lingkungan, finansial, paras, bahkan pendapat pun bisa berbeda. Menurut aku, perbedaan itu bersumber pada satu induk, yakni, perbedaan karakter manusia itu sendiri.
Karakter; sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.
Tak mungkin 7 miliar manusia di bumi ini hanya memiliki satu hingga dua karakter, selebihnya sama. Perbedaan itu menimbulkan keindahan, terkadang pula keburukan; seperti perpecahan.
Pernah mendengar kisah perpecahan sebuah kerajaan hanya dikarenakan sebuah berbedaan yang berakar pada perbedaan karakter? Yang pada akhirnya menyulut ego untuk berkuasa di atas yang lain? Ya. Seperti itulah kira-kira gambaran kecil mengenai perpecahan. Namun di sini, aku tak ingin membahas lebih dalam mengenai hal itu, aku hanya ingin mengingatkan, bahwa, perbedaan merupakan suatu hal yang lazim. Suatu hal yang bukan merupakan sebuah dosa jika kita menemuinya. Tak ada keharusan, tuntutan bagi kita, manusia, untuk meniadakan perbedaan itu. Dengan kata lain, melarang adanya perbedaan. Sebaliknya, manusia diperintahkan untuk saling menyatukan insan satu dengan lainnya, menyayangi makhluk satu dengan lainnya. Bukankah begitu?
Banyak di antara kita, manusia, yang selalu bertanya-tanya, mengapa ia diciptakan berbeda dari yang lain?
Mengapa tidak kulitnya semulus dia?
Mengapa tidak kantongnya setebal dia?
Mengapa tidak parasnya seindah dia?
Mengapa tidak otaknya seencer dia?
Mengapa tidak...
Mengapa..
Mengapa..
Mengapa aku seperti ini?
Ya. Aku juga sering mempertanyakan hal serupa pada semesta. Seolah, semesta tidak pernah adil dalam membagi peran. Dia yang sempurna, semakin sempurna dengan dukungan harta dan otaknya yang cemerlang. Seolah, raga ini diciptakan hanya untuk menjadi rongsokan.
Tapi, tidak begitu cara kerja semesta, teman. Tidak pantas mulut ini berkata demikian. Tidak etis otak kita yang sempurna ini berpikir demikian. Tuhan, dengan ke-Agungan-Nya telah mengatur semesta sedemikian rupa agar menjadi tempat terbaik bagi setiap individu di dalamnya. Bayangkan, entah sudah berapa nikmat yang kau terima tanpa harus mengeluarkan satu perak pun dari kantongmu. Bayangkan, ke-murahan-Nya dalam menghidupi semesta ini.
Hilangkan pikiran-pikiran itu. Perbedaan pasti akan tetap ada. Suatu kesenjangan itu akan selalu ada. Namun, kita bisa menghindarinya. Dengan apa?
Bagaimana jika dengan mengganti semua pertanyaan itu dengan,
mengapa tidak aku bersyukur?
-12.12.19. sei.
pic was taken by me, on December 2nd 19, sunset in front of home sweet home, Bantul, Yogyakarta.
Komentar