Postingan

belajar bodo amat.

Dalam dunia ini, kita mengenal beberapa kata yang baik remaja pun sosok dewasa sering dengar. Di antaranya; opini, apresiasi, kritik, komentar, sambat, dan resah. Ya, seputar itu pokoknya. Kata-kata itu jarang terucap, tapi sering diwakili dengan berentet kalimat lain. Atau bisa dibilang, omongan orang. Nyambung nggak? Kayaknya nggak, hehe. Ok, sebagai sosok remaja, kita sering bertemu yang namanya, omongan orang. Baik itu dalam bentuk opini membangun seperti apresiasi, atau bahkan kritik pedas yang menjatuhkan. Bertolak belakang memang, tapi tujuannya tidak bertolak belakang, sebenarnya. Kalau kita bisa lihat dari perspektif yang tepat. Opini membangun, atau biasa disebut apresiasi, keluar dari mulut-mulut mereka yang manis dengan tujuan membangun, menghargai, juga menghormati. Yang seperti ini biasanya menenangkan. Tapi, tak banyak manusia yang melakukannya, ya tidak? Atau, hanya soal pengaruh lingkungan. Yang kedua, kritik pedas. Yang satu ini sedikit menyeramkan, bak a...

Manusia tidak pernah puas ?

Manusia tidak pernah puas. Sering dengar? Atau bahkan sering berkata itu? Terkadang, hidup bisa sebercanda itu. Untuk bisa meraih tahap tertentu, tentunya manusia perlu mati-matian berjuang bahkan hingga titik darah penghabisan. Namun, semesta rupanya gemar bercanda. Pada satu posisi bisa dilihat sosok-sosok pejuang tangguh yang dengan segenap raganya, berlari dan memanjat. Di sisi lainnya, bisa dilihat sosok dengan kelebihan yang dianugerahi padanya dengan mudahnya meraih titik dan tujuan yang sama. Kadang, kesannya tidak adil, ya? Kemudian banyak manusia meneriakkan; tegakkan keadilan! Ada saat ketika tiap raga pada semesta ini berlomba-lomba untuk meraih titik terbaik dalam hidupnya. Berlomba menyaingi dan mengalahkan sosok di sebelahnya. Segala cara dilakukan, bahkan cara curang sekalipun. Itu sih, menjadi tanggung jawab setiap pribadi. Tapi, di mana keadilan? Manusia sering berkata, aku ingin meraih titik itu. Aku akan berjuang untuknya. Pagi hingga larut mala...

dunia gemar menuntut.

Pasti pada pernah mendengar kata-kata ini;  "Belajar yang rajin dong, biar sukses." "Coba rajin olahraga dan minum susu biar tinggi." "Berhenti ngemil, deh. Mau bentuk kamu jadi 11 12 sama gajah?" "Bangun siang terus, udah ketinggalan banyak langkah dari orang lain." "Main game aja terus, mau jadi apa kamu saat besar?" "Kerja males-malesan terus, Saya potong gaji kamu lama-lama." "Nyinyir mulu kerjaannya." "Gak usah lah jadi designer, keren juga dokter." Dan rentetan kalimat lainnya. Dari siapa biasa kamu denger? Temen? Orang asing yang bahkan kamu belum pernah ketemu? Saudara? Atau bahkan orang tua? Kalau habis denger itu gimana? Emosi? Jelas. Marah? Panas? Nangis? Teriak? Beda-beda dalam setiap orang mengungkapkan emosi dan perasaannya. Ok, itu nggak penting. Tapi pernah kah ada yang bertanya-tanya, kenapa sih dunia jahat banget? Perasaan aku gak salah ...

Tentang dewasa.

Dewasa itu.. Simple, bahagia, bebas. Katanya sih gitu, padahal sih jauh dari itu, menurutku. Bagi ragaa yang belum genap 19 tahun ini, dewasa adalah suatu tahap paling mengerikan yang pernah terbayang dalam otaknya. Bagaimana tidak? Pembebanan tanggung jawab di mana-mana, suatu perbuatan menjadi memiliki banyak arti, banyak perspektif. Membayangkannya membuat bulu kudukku melambai-lambai, seakan memberi isyarat untuk menyerah. Cepat atau lambat, lepas dari orang tua akan terjadi pada akhirnya. Persoalan dunia itu luas dan kejam akan benar-benar dihadapi sendiri. Bukannya payah atau mencoba menjadi pengecut, tapi pernahkah berpikir, bagaimana jika jalan yang ku pilih pada akhirnya membawa malapetaka? Bagaimana jika aku tidak cukup baik untuk manusia lain? Bagaimana jika aku bahkan tidak bisa menghidupi diriku sendiri? Bagaimana jika aku tidak akan pernah berjumpa lagi dengan yang namanya "kebahagiaan"? Yah, ketakutan seperti itu pasti ada. Jika tid...

a letter for you.

teruntuk; orang yang pernah baik ke aku, yang selalu baik ke aku. makasih ya, aku gak tau kenapa, tapi hati aku selalu meleleh setiap ada orang baik ke aku. apalagi yang terlihat banget tulusnya. aku gak tau juga kenapa, setiap ada orang baik datang, aku selalu merasa hina. kaya, ngga pantas gitu loh. selalu ada orang baik di sekitar aku. yang mana aku selalu haru tiap itu terjadi. terimakasih kalian, jajaran orang baik, yang menjadi salah satu guru aku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. maaf ya, kalau balasan atas semua itu ke kalian nggak sebaik apa yang kalian beri ke aku, tapi aku selalu berusaha untuk itu. tau gak sih, kalau setiap kejadian indah bersama orang baik dalam hidupku, aku suka tiba-tiba nangis gitu. kaya misal, sesederhana kalian nemenin aku nyari sesuatu, padahal kalian ga dapat apa-apa dari aku. bensin kalian, yang bayar kalian, yang nyetir kalian, yang dapet untungnya aku. kaya, aku suka terharu gitu, Allah baik banget mendatangkan kalian ke dalam hidu...

sebuah kicauan hati.

Hai, apa kabar? Teruntuk kalian yang setia membaca tulisan aku, sehat terus, ya! Bahagia terus. Semoga Tuhan selalu menjaga kalian.  Malam ini, aku kembali menulis setelah sekian lama. Bukannya apa, karena emang lagi kosong aja otaknya. Bukan kosong sih, lebih ke, terlalu banyak isinya sampai-sampai nggak tau lagi apa aja yang ada di dalamnya. Dan kali ini, aku memutuskan untuk menuliskan sebuah kicauan oleh hati ini yang telah ku kubur sekian lamanya. Aku nggak tau harus mulai dari mana, sejujurnya. Tapi aku akan coba, maaf kalau aneh. Akhir-akhir ini kepikiran aja, kenapa gitu? hehe. Menulis bagi aku adalah obat. Obat bagi segala penyakit yang aku rasakan. Baik emosional, maupun jasmani. Apapun situasinya, aku akan berusaha untuk menuangnya dalam sebuah tulisan. Berawal dari seorang gadis kecil yang tak pernah membuka mulutnya untuk sekedar bercerita, tak akan berbicara kecuali ditanya. Siapa? Aku lah. Apapun yang ku rasakan, pada akhirnya, menulis selalu...

Percaya Diri, atau Percaya Diri Sendiri

Sudah lama tidak bersapa. Saya mau memulai dengan, gimana? Apa kabar? Semoga kebaikan selalu menyertaimu, Aamiin.  Apa kabar emosi?  Apa kabar perasaan? Aman? Semoga. Belakangan ini, saya perhatikan beberapa manusia terduduk memeluk lututnya di sudut ruangan. Ada yang tau tidak kenapa? Ada yang peduli tidak? Begitu yang saya tanyakan padanya. Tak ada suara yang menjawab, melainkan gelengan kecil oleh kepalanya yang masih tertunduk. Jujur saja. saya bingung harus apa. Saya duduk di depannya, mengikuti apa yang sedang dilakukannya. Memeluk diri.  Saya diam saja di sana. Berusaha mengenali suasana. Tak lama suara isak tangis kecil mulai terdengar telinga. Ia yang terduduk di depanku, gini gemetar entah kenapa. Saya menyentuh tangannya lembut, dingin. Tentu saja, malam gelap dengan hembusan anginnya tentu membekukan sekujur tubuh manusia tanpa alas kaki ini. Saya beranikan diri merengkuhnya ke dalam peluk. Saya harap saya dapat menghangatkannya. Awalnya ia berusaha...